Rabu, 04 September 2013

Janji








Hari ini aku ingin lepas dari tubuh puisi. 
Menjadi seseorang yang benar-benar aku. 
Seorang yang sering menangis akhir-akhir ini. 
Menyakiti sajak-sajaknya sendiri.
Sebut saja aku, seorang yang mengartikan luka dan bahagia, dengan satu kata; air mata. 
Ya, tapi kali ini aku ingin berbicara tentang makhluk yang kau namai Perempuan.
Setiap perempuan pasti pernah terluka karena cinta.

Menangis, itu wajib. Tapi hanya wanita yang tau bagaimana menyembuhkan luka, menutupnya rapat-rapat, agar ia tak jatuh lagi pada lubang yang sama. 
Kita bukan perempuan, tapi kita adalah wanita; yang tak mungkin jatuh pada kesakitan yang sama  
Jika diukur dengan nilai maksimal 10, maka saat jatuh cinta, seorang perempuan hanya memakai 1 untuk logika, sisanya perasaan belaka  
Perempuan selalu membiarkan dirinya hanyut dengan perasaannya saat jatuh cinta, 
hingga logika tak lagi jadi pertimbangan. 

Hmm, apakah aku seorang wanita, atau perempuan?

Seseorang yang rela berulang dirajam kebodohan.

Karena masih membiarkan jendela terbuka lebar, sehingga luka bisa kapan saja mengunjungi dari sana. Membiarkan diri terpuruk pada kesalahan-kesalahan yang berulang.
“Karena, sebodoh inilah hati yang mencintai, tak mampu berpaling walau berulang dilukai”
 
Ucapkan selamat datang pada logika, jika cinta sudah tak lagi menyakitimu. Ucapkan selamat tinggal pada logika, jika kau terus mencintainya dengan buta

Cinta selalu menjadi kambing hitam saat kita merasa kesakitan. 

Bukankah semua pilihan ada di tangan kita, ketika harus memilih; tetap duduk menunggu demi rindu atau bangkit berdiri, kemudian melangkah pergi?
Tapi itulah kita; perempuan, menikmati kesakitan, menepikan logika saat berada di sisi lelakinya.
Kata wanita, terdengar lebih anggun dan matang, tapi perempuan sepertinya lebih cocok untuk menggambarkan dia yang terluka tapi masih mau bertahan.
Jadilah seorang wanita jika kau sudah mampu menggunakan logika dan bangkit dari luka.

Tapi jika hatimu tak mampu berpaling, biarkan rindu membuatmu tetap berada di situ, di sisi lelakimu. 
Bukankah kita sudah terbiasa menikmati sakitnya?

Tidak ada komentar: