Kamis, 17 Januari 2013

Selasa, 23 Juni 2009


Surat Yang Tidak Pernah Dikirim




Dear Cinta

Surat ini tidak akan pernah kukirim, karena sebenarnya aku hanya ingin berbicara dengan diriku sendiri. Aku ingin berdiskusi dengan angin, wangi bunga sedap malam, dengan pantai dan dengan bulan.

Kamu, yang tidak pernah aku mengerti. Kamu, racun yang membunuhku perlahan. Sebelah diriku menginginkan kamu datang, membenciku hingga kamu muak mendekati gila, menertawakan segala kebodohanku, kekhilafanku untuk jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kita berjumpa.

Tapi sebelah dariku menginginkan agar kamu datang, menjemputku, mengamini cinta, dan untuk sekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta.

Kemudian mendamparkan diri kita di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, air mata dan ketabahan hati. Betapa sebelah diriku percaya bahwa tetes air mata pun akan terhitung, tidak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan pantai...dan itulah tujuan kita.

Kalau saja bumi tidak berotasi, kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka.. tanpa ragu aku akan memilih satu detik bersamamu untuk diabadikan. Cukup satu.

Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa ku rela membatu untuk itu.

Tapi bumi berotasi. Hidup itu cair. Semesta bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Aku, tidak terkecuali.

Aku takut. Aku takut karena ingin jujur. Itu yang membuatku menangis malam itu, cinta..., menangis yang membuat seluruh kelopak mataku membesar dan menutupi mata ku yang memilu. Kejujuran itu menyudutkanku untuk mengakui bahwa aku mulai ragu dan membiarkanmu diselimuti oleh pertanyaan.

Kamu lah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi aku cemas. Sejarah kita. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tetapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh. Cerita kita mengharuskan aku untuk sering menyejarahkan, merekammya dan memutar ulang di kepalaku sebagai sang kekasih impian, sang tujuan, sang inspirasi. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kita seperti musafir yang tersesat di padang keindahan. Berjalan dengan kompas masing-masing. Sesekali kita bertemu, berusaha saling mengerti atas nama cinta dan perjuangan yang tidak sia-sia. Aku pertaruhkan segalanya demi apa yang kurasa benar. Dan mencintaimu menjadi kebenaran tertinggi.

Mungkin suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentenginya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam kompas, bintang selatan, mercusuar .... yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya menemuiku.



Tidak ada komentar: